Cikal-bakal berdirinya Kesultanan
Indragiri tidak bisa dipisahkan dari keberadaan Kerajaan Keritang. Nama
Keritang diperkirakan berasal dari istilah “akar itang” yang diucapkan dengan
lafal “keritang”. Sementara Itang adalah sejenis tumbuh-tumbuhan yang banyak
terdapat di sepanjang anak Sungai Gangsal bagian hulu yang menjalar di
sepanjang tebing-tebing sungai. Sungai Gangsal mengaliri wilayah Kota Baru, ibu
kota Kecamatan Keritang, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau. Selain
pemaknaan di atas, ada pula yang menyebut bahwa nama Keritang identik dengan
istilah “Kitang”, yaitu sejenis siput yang berhabitat di hulu Sungai Gangsal
(Ahmad Yusuf & Umar Amin, et.al., 1994:19).
Asal-muasal Kerajaan Kelintang berawal dari
keruntuhan Kerajaan Sriwjaya yang berpusat di Palembang. Pada akhir abad ke-13,
Kerajaan Sriwijaya mulai rapuh karena adanya serangan dari luar, antara lain
dari Kerajaan Cola (India) yang menyerbu dari arah utara dan kemudian ekspedisi
Majapahit dari sebelah timur. Namun, dalam catatan perjalanan Marcopolo yang
ditulis pada 1292, nama Kerajaan Sriwijaya tidak disebut-sebut lagi. Hal ini
sepertinya menunjukkan bahwa pada masa itu Sriwijaya sudah terpecah-pecah.
Salah satunya kerajaan yang menjadi pecahan Sriwijaya adalah Kerajaan Keritang
yang kemudian menjadi Kesultanan Indragiri. Sama seperti Sriwijaya, Keritang
adalah kerajaan yang bercorak Buddha.
a. Dari Keritang ke Indragiri
Berdasarkan catatan dalam kitab Negarakrtagama karya
Mpu Prapanca, nama Indragiri disebut dengan nama Keritang. Oleh karena Keritang
terletak di wilayah yang kemudian dikenal dengan nama Indragiri, maka
diperkirakan bahwa Kerajaan Keritang inilah yang kelak berkembang menjadi
Kesultanan Indragiri. Mengenai nama Indragiri sendiri, ada ahli-ahli sejarah
dari Eropa yang pernah menyebutnya. Kamus A Malay-English Dictionary yang
disusun Richard James Wilkinson (1867-1941), mencantumkan nama Indragiri. Dalam
kamus yang diterbitkan pada 1932 ini, Indragiri diartikan sebagai Indra‘s
Mountain: an East Coast Sumatra Sultanate on a river of the same name atau
“Gunung Tempat Dewa Indra: Suatu kesultanan di Pesisir Timur Sumatra dekat
sungai yang bernama sama (nama kerajaan dan sungai adalah sama, yaitu
Indragiri)”.
Dalam Nieuw Malaeisch-Nedelandsch
Woordenboek – Met Arabisch Karakter, kamus susunan Hillebrads
Cornelius Klinkert (1829-1913) terbitan tahun 1892, nama Indragiri diartikan
sebagai nama sebuah kerajaan di Pantai Timur Pulau Sumatra dan nama sungai yang
mengaliri kerajaan itu (Hasan Junus & Zuarman, et.al., 2003:13).
Ada pula yang mengatakan bahwa Indragiri berasal dari bahasa Sanskerta yaitu
“Indra” yang berarti mahligai dan “Giri” yang berarti kedudukan yang tinggi
atau negeri, sehingga makna Indragiri adalah Kerajaan Negeri Mahligai.
Raja pertama Keritang adalah Raja Kecik
Mambang atau Raja Merlang (1298-1337) yang berturut-turut dilanjutkan oleh Naja
Singa I (1337-1400) sebagai Raja Keritang ke-2 kemudian Raja Merlang II
(1400-1473). Pada era berikutnya, pengaruh Islam sudah mulai masuk ke wilayah
kerajaan ini. Raja yang selanjutnya, yakni Nara Singa II (1473- 1508) diketahui
telah memeluk agama Islam. Nara Singa II, Raja Keritang yang ke-4, mendirikan
Kesultanan Indragiri sejak tahun 1508 dan berkuasa hingga tahun 1532 sebagai sultan
pertama Indragiri.
Kerajaan Keritang sempat menjadi wilayah
taklukan Kerajaan Majapahit. Seiring Islam masuk ke nusantara, wilayah Keritang
dikendalikan oleh Kesultanan Malaka. Ketika masih di bawah kuasa Majapahit,
Raja Merlang diperkenankan untuk tetap berada di tengah-tengah rakyatnya. Akan
tetapi, setelah Keritang dikuasai Kesultanan Malaka, Raja Merlang tidak
diperbolehkan lagi tetap menetap di Keritang, melainkan dibawa ke Malaka.
Kebijakan ini sangat menguntungkan bagi Malaka karena dengan demikian Keritang
lebih mudah diawasi.
Dominasi Malaka terhadap Keritang
semakin kuat ketika Raja Merlang dikawinkan dengan Putri Bakal, anak perempuan
Sultan Mansyur Syah, pemimpin Kesultanan Malaka. Ikatan perkawinan itu, di
samping mengokohkan kedudukan Sultan Malaka di daerah jajahan, dilakukan juga
dengan harapan agar Raja Merlang betah tinggal di Malaka. Dari perkawinan
dengan Putri Malaka itu, Raja Merlang memperoleh putra yang diberi nama Nara
Singa (1337-1400) dan dibesarkan di lingkungan Kesultanan Malaka. Ketika
Kesultanan Malaka dipimpin oleh Sultan Mahmud Syah I (1488-1511), Nara Singa
diambil menantu oleh Sultan. Ketika Nara Singa dinobatkan sebagai Raja
Keritang, dia tetap tidak diperbolehkan tinggal di Keritang. Demikian pula yang
terjadi kepada raja-raja penerus tahta Kerajaan Keritang yang selanjutnya,
yakni Raja Merlang II hingga kemudian Nara Singa II (1473- 1508).
Selama keluarga Kerajaan Keritang berada
di Malaka, pemerintahan dijalankan oleh Datuk Patih dan Datuk Temenggung
Kuning, serta beberapa pejabat Kerajaan Keritang lainnya. Meski pemerintahan
Kerajaan Keritang dapat tetap berjalan, namun seringkali terjadi perselisihan
antara Datuk Patih dan Datuk Temenggung Kuning. Masalah terpelik yang terjadi
di antara kedua menteri itu adalah soal agama yang merembet ke ranah politik.
Datuk Temenggung Kuning telah memeluk agama Islam, sementara Datuk Patih masih
menganut kepercayaan lama. Persoalannya adalah, apabila ada orang yang berada
di bawah kuasa Datuk Patih memeluk Islam, maka orang itu dipersilahkan untuk
pindah ke daerah yang dipimpin Datuk Temenggung Kuning. Akibatnya, semakin lama
orang-orang yang berada di bawah kekuasaan Datuk Patih kian berkurang karena
semakin banyak pula orang yang memeluk Islam.
Konflik internal di dalam Kerajaan Keritang,
ditambah dengan perlakuan yang tidak adil dari orang-orang Malaka terhadap
rakyat Keritang, membuat Nara Singa II resah dan berkeinginan untuk kembali ke
kerajaannya. Dengan alasan mencari hiburan bersama istri tercintanya, Nara
Singa II akhirnya diperbolehkan kembali ke Keritang. Nara Singa II tidak
menyia-nyiakan kesempatan ini dan segera menyusun rencana dengan para
pengikutnya. Ketika sudah berhasil meninggalkan Malaka, terdengarlah kabar
bahwa Nara Singa II diculik. Kabar penculikan ini sengaja dihembuskan sebagai
bagian dari taktik agar Nara Singa II dapat melepaskan diri dari Malaka (Yusuf
& Amin, et.al., 1994:19).
Selanjutnya, Nara Singa II bersama para
pengikutnya memindahkan pusat kerajaan dari Keritang ke Pekantua, tidak jauh
dari Sungai Indragiri. Perpindahan tersebut terkait dengan kepercayaan bahwa
suatu tempat yang telah ditinggalkan tidak baik untuk dijadikan pusat
pemerintahan. Keritang merupakan kota yang diambil-alih Malaka sebagai daerah
jajahan, maka menurut keyakinan magic religious, kota atau kraton
yang telah dikalahkan itu harus ditinggalkan (Sartono Kartodirjo, et.al.,
1975:153). Nara Singa II akhirnya dinobatkan menjadi pemimpin di Pekantua dan
inilah tanda bahwa Kesultanan Indragiri telah berdiri. Sebagai sultan pertama Kesultanan
Indragiri, gelar untuk Nara Singa II adalah Maulana Paduka Sri Sultan Alauddin
Iskandar Syah Johan. Gelar ini menandakan bahwa unsur Islam sudah masuk dan
menebar pengaruh di Indragiri dan sekitarnya.
Pada era pemerintahan Sultan Indragiri
pertama ini, ibu kota kerajaan dipindahkan lagi, yakni ke Mudoyan, yang dikenal
juga dengan nama Kota Lama, yang terletak di sebelah hulu Pekantua. Jarak
antara Pekantua dengan Kota Lama kurang lebih 50 kilometer lewat jalan darat.
Perpindahan pusat pemerintahan Kesultanan Indragiri tersebut disebabkan karena
kurang amannya Pekantua dari kemungkinan serangan Portugis dan ancaman
gerombolan perompak. Belum diketahui kapan pastinya waktu pemindahan itu namun
yang jelas, waktu pemindahan itu paling lambat dilakukan pada 1532 karena di
tahun itu Maulana Paduka Sri Sultan Alauddin Iskandar Syah Johan atau Nara
Singa II meninggal dunia dan dimakamkan di Kota Lama (Yusuf & Amin, et.al., 1994:75).
Pada 1765, pusat pemerintahan Kesultanan Indragiri berpindah lagi, kali ini ke
Raja Pura atau Japura.
Sejak 5 Januari 1815, yakni pada masa
pemerintahan Sultan Ibrahim (1784-1815), Sultan Indragiri ke-15, ibu kota
Indragiri pindah ke Rengat. Beberapa peneliti menduga, selain adanya tekanan
dari kolonialis Belanda, pemindahan ibu kota Kesultanan Indragiri dari Japura
ke Rengat juga dikarenakan tersedianya biaya untuk pembangunan istana baru yang
lebih megah (Lutfi [ed.], 1977:261).
Sultan pertama Indragiri, Alauddin
Iskandar Syah Johan, bertahta sampai akhir hayatnya yakni tahun 1532. Setelah
itu, pucuk pimpinan Kesultanan Indragiri berturut dilanjutkan oleh penerus
Alauddin Iskandar Syah Johan, yaitu Sultan Indragiri ke-2 Sultan Usuluddin
Hasansyah (1532-1557), kemudian Sultan Ahmad dengan gelar Sultan Mohammadsyah
(1557-1599) sebagai pemimpin Kesultanan Indragiri yang ke-3, hingga Sultan
Jamaluddin Kramatsyah (1599-1658). Pada era pemerintahan pemimpin ke-4
Kesultanan Indragiri inilah kaum imperialis Eropa datang dan lantas menanamkan
pengaruhnya di Indragiri.
b. Kesultanan Indragiri pada Era
Kolonial Belanda
Tahun 1602, kapal milik bangsa Belanda
yang dipimpin oleh nahkoda Heemskerck berlabuh di Johor dengan tujuan awal
untuk berdagang. Pada saat itu, Kerajaan Johor-Riau yang dipimpin Sultan
Alauddin Riayat Syah II sedang menghadapi sejumlah peperangan, antara lain
dengan Portugis dan Aceh serta Patani. Kerajaan Johor-Riau kemudian mengajak
Belanda bekerjasama untuk melawan musuh-musuhnya itu.
Sebagai strategi untuk meluaskan
pengaruh dan jejaring niaganya di Selat Malaka, kompeni Belanda mendirikan loji
di Indragiri pada 1615. Sultan Jamaluddin Kramatsyah (1599-1658) sebagai
penguasa Kesultanan Indragiri saat itu mengizinkan aktivitas dagang Belanda di
wilayahnya dengan harapan akan dapat meningkatkan perdagangan di Indragiri.
Namun, harapan Sultan Jamaluddin Kramatsyah dan Belanda tidak berjalan mulus
karena adanya persaingan dari pedagang-pedagang Cina, Portugis, dan Inggris.
Sementara Belanda sendiri kurang mampu berkonsentrasi menangani perdagangannya
di Indragiri karena sedang memusatkan perhatiannya untuk Batavia. Akibatnya,
pada 1622 kantor dagang atau loji Belanda di Indragiri terpaksa ditutup.
Karena kerjasama dengan Belanda tidak
berjalan lagi, Indragiri mengalihkan jalinan niaganya ke Minangkabau. Namun,
hubungan itu menimbulkan polemik dengan Kesultanan Aceh Darussalam. Pasalnya,
hasil lada dan emas dari Minangkabau yang sebelumnya dibawa ke Padang, Tiku
Pariaman, dan Bandar Sepuluh, yang berada di bawah pengaruh Aceh, menjadi
berkurang. Karena merasa tersaingi dalam perdagangan, Aceh Darussalam menyerang
Indragiri dan Johor pada 1623 (Jamalako Sultan, tt:17). Selain itu, Aceh juga
menyerbu wilayah lainnya yang dianggap merugikan perdagangannya. Penyerangan
Aceh ke Indragiri, Aru, Pahang, Kedah, Perak, dan Johor dilakukan dalam waktu
yang berdekatan (Sanusi Pane, 1965:185).
Tujuan utama penyerbuan Aceh Darussalam
ke Indragiri adalah untuk memutuskan hubungan perdagangan lada antara
Kesultanan Indragiri dengan Minangkabau. Ketika akhirnya Aceh Darussalam dapat
mewujudkan tujuannya itu, yaitu kira-kira awal tahun 1624, kiriman lada dari
Minangkabau ke Indragiri tiap bulan menurun drastis. Bagi daerah-daerah yang
tunduk di bawah kekuasaan Aceh, Sultan Iskandar Muda (1607-1636), penguasa
Kesultanan Aceh Darussalam, menuntut 15% dari produksi emas dan lada sebagai
upeti, sedangkan sisanya harus dijual sesuai dengan harga yang ditetapkan Aceh
(Djuharsono, 1985:152).
Karena perdagangan yang semakin terdesak
akibat pendudukan Aceh Darussalam, Indragiri kemudian mencoba menjalin hubungan
kembali dengan Belanda. Sultan Jamaluddin Kramatsyah mengirim surat kepada
Antonio van Dieman, Gubernur Jenderal Belanda di Batavia, pada 1641. Dalam
suratnya, Sultan Jamaluddin Kramatsyah meminta kepada Belanda supaya membuka
kembali kantor dagang di Indragiri. Setelah beberapa kali berusaha, keinginan
Sultan Jamaluddin Kramatsyah terpenuhi dengan kedatangan Joan van Wesenhage,
utusan Belanda dari Batavia, ke Indragiri.
Selanjutnya, pada masa pemerintahan
Sultan Jamaluddin Sulemansyah (1658-1669) sebagai Sultan Indragiri ke-5,
disepakati perjanjian dengan Belanda tentang hubungan perdagangan antara kedua
belah pihak. Perjanjian yang ditandatangani oleh Sultan Jamaluddin Sulemansyah
dan Joan van Wesenhage tersebut dikenal dengan nama Renovatie van het Contract
van 27 October 1664, sesuai dengan tanggal penandatanganan hasil perundingan.
Isi dari perjanjian itu antara lain: (1) Belanda diberi hak memonopoli dalam
perdagangan lada; dan (2) Bea murah bagi masuk dan keluarnya barang-barang
milik Belanda dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Indragiri (Muchtar Lutfi
[ed.], 1977:217). Berdasarkan perjanjian tersebut, Belanda diperbolehkan
membangun kembali kantor dagangnya di Indragiri di Kuala Cenaku. Namun, pada
1679, kantor dagang Belanda di Kuala Cenaku diserang oleh 100 orang Banten di
bawah pimpinan Pangeran Arja Suria dan Ratu Bagus Abdul Kadir. Sejak itu,
kantor dagang Belanda di Indragiri tersebut kembali ditutup.
Hubungan antara Belanda dengan
Kesultanan Indragiri pada era pemerintahan kolonial Hindia Belanda mengalami
pasang surut, kendati kerugian lebih sering diderita oleh pihak Kesultanan
Indragiri. Misalnya ketika Indragiri di bawah pemerintahan Sultan Ibrahim (1784-1815), Belanda
mulai campur tangan dalam urusan internal kerajaan dengan mengangkat Sultan
Muda yang berkedudukan di Peranap dengan batas wilayah dari Hilir hingga
Japura.
Pada masa kepemimpinan Sultan Indragiri
yang terakhir, Sultan Mahmudsyah (1912-1963), posisi Kesultanan Indragiri
sebagai kerajaan yang berdaulat semakin terjepit. Sultan tidak mampu berbuat
banyak menghadapi tekanan Belanda. Di samping itu, Belanda juga melarang rakyat
Indragiri mengadakan rapat atau berkumpul lebih dari tiga orang, kecuali acara
dakwah agama, itu pun dengan pengawasan ketat. Apabila isi ceramah dalam dakwah
tersebut dianggap terlalu berani, maka orang-orang yang terkait dengan acara
dakwah itu akan ditangkap dan diproses menurut hukum yang diberlakukan oleh
pemerintah kolonial (Yusuf & Amin, et.al., 1994:126).
c. Bergabung dengan Negara Kesatuan
Republik Indonesia
Ketika Jakarta menyerukan kemerdekaan
Indonesia pada 17 Agustus 1945, kabar itu segera sampai ke Indragiri, namun
Sultan Mahmudsyah belum berani mengambil sikap karena tentara Jepang masih
banyak yang berkeliaran. Sultan berhati-hati dalam mengambil keputusan dan
menunggu reaksi rakyat Indragiri. Tetapi, para pemuda di Indragiri telah
bersikap dan berani menyampaikan berita proklamasi kepada rakyat banyak. Sultan
sendiri sudah mendengar bahwa para pemuda telah mengadakan pertemuan secara rahasia
untuk membicarakan hal tersebut (Wasmad Rads, 1950:7).
Selanjutnya, kaum pemuda menghadap
Sultan Mahmudsyah untuk menanyakan sikap Sultan terhadap kemerdekaan Indonesia.
Sultan menjawab tegas bahwa Kesultanan Indragiri sangat mendukung proklamasi
kemerdekaan dan merestui gerakan kaum pemuda. Sultan Mahmudsyah juga menyatakan
bahwa Kesultanan Indragiri siap bergabung dengan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Sultan Mahmudsyah berucap, “Kerajaan Indragiri sudah berakhir dan
kini sudah pemerintahan Indonesia, jadi apa-apa yang tuan-tuan perbuat saya
sangat mendukung.” (Yusuf & Amin, et.al., 1994:173).
Bahkan, Sultan Mahmudsyah menyarankan agar bendera Merah Putih segera
dikibarkan di Indragiri. Dengan demikian jelas sudah bahwa Kesultanan Indragiri
di bawah pimpinan Sultan Mahmudsyah sangat berkomitmen terhadap perjuangan
kemerdekaan bangsa Indonesia.
2. Silsilah Raja-Raja
Berikut silsilah raja/sultan yang pernah
berkuasa di Kerajaan Keritang/Kesultanan Indragiri, berdasarkan buku Sejarah
Kesultanan Indragiri (1994), karya Ahmad Yusuf, Umar Amin, Noer
Muhammad, dan Isjoni Ishaq:
- Raja Kecik Mambang atau Raja Merlang (1298-1337),
Raja Keritang ke-1.
- Nara Singa I (1337-1400), Raja Keritang ke-2.
- Raja Merlang II (1400-1473).
- Nara Singa II (1473-1508), Raja Keritang ke-4
yang kemudian mendirikan Kesultanan Indragiri atau Raja Indragiri ke-1
dengan gelar Sultan Iskandar Alauddin Syah (1508-1532).
- Sultan Usuluddin Hasansyah (1532-1557), Sultan
Indragiri ke-2.
- Raja Ahmad atau Sultan Mohammadsyah (1557-1599),
Sultan Indragiri ke-3.
- Raja Jamaluddin bergelar Sultan Jamaluddin
Kramatsyah (1599-1658), Sultan Indragiri ke-4.
- Sultan Jamaluddin Sulemansyah (1658-1669), Sultan
Indragiri ke-5.
- Sultan jamaluddin Mudoyatsyah (1669-1676), Sultan
Indragiri ke-6.
- Sultan Usuludin Ahmadsyah (1676-1687), Sultan
Indragiri ke-7.
- Sultan Abdul Jalil Syah (1687-1700), Sultan
Indragiri ke-8.
- Sultan Mansursyah (1700-1704), Sultan Indragiri
ke-9.
- Sultan Mohammadsyah (1704-1707), Sultan Indragiri
ke-10.
- Sultan Musyaffarsyah (1707-1715), Sultan
Indragiri ke-11.
- Raja Ali Mangkubumi Indragiri bergelar Sultan
Zainal Abidin Indragiri (1715-1735), Sultan Indragiri ke-12.
- Raja Hasan bergelar Sultan Hasan Salahuddinsyah
(1735-1765), Sultan Indragiri ke-13.
- Raja Kecil Besar bergelar Sultan Sunan (1765-1784),
Sultan Indragiri ke-14.
- Sultan Ibrahim (1784-1815), Sultan Indragiri
ke-15.
- Raja Mun (1815-1827), Sultan Indragiri ke-16.
- Raja Umar atau Sultan Berjanggut Kramat
(1827-1838), Sultan Indragiri ke-17.
- Raja Said atau Sultan Said Mudoyatsyah
(1838-1876), Sultan Indragiri ke-18.
- Raja Ismail bergelar Sultan Ismailsyah
(1876-1877), Sultan Indragiri ke-19.
- Tengku Husin bergelar Sultan Husinsyah
(1877-1883), Sultan Indragiri ke-20.
- Tengku Isa atau Sultan Isa Mudoyatsyah
(1887-1903), Sultan Indragiri ke-21.
- Tengku Mahmud atau Sultan Mahmudsyah (1912-1963),
Sultan Indragiri ke-22.
3. Sistem Pemerintahan
Kesultanan Indragiri memiliki sistem
pemerintahan khas yang dibangun oleh orang-orang Melayu secara turun-temurun.
Model pemerintahan yang berlaku di dalam Kesultanan Indragiri yang bercirikan
Islam telah memperkuat pertumbuhan dan perkembangan budaya Melayu.
Upacara-upacara keagamaan di Indragiri tidak bisa dilepaskan dari Islam dan
diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari (Raja Thamsir Rahman dalam Isjoni &
Zulkarnain [eds.], 2007:x).
Sistem pemerintahan yang berlaku di
Kesultanan Indragiri mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Dalam
menjalankan pemerintahannya, pendiri sekaligus raja pertama Kesultanan
Indragiri, Nara Singa II atau Maulana Paduka Sri Sultan Alauddin Iskandar Syah
Johan, didampingi bendahara kerajaan bernama Tun Ali dan diberi gelar “Raja di
Balai” (Yusuf & Amin, et.al., 1994:19). Posisi bendahara
kerajaan pada masa itu adalah jabatan yang prestisius karena hanya orang
terdekat dan yang paling dipercaya oleh Sultan sajalah yang bisa menduduki
posisi ini.
Sultan Alauddin Iskandar Syah Johan
masih memiliki sejumlah hamba setia, antara lain Datuk Patih dan Datuk
Temenggung Kuning serta beberapa orang lainnya. Selama Sultan Alauddin Iskandar
Syah Johan berada di Malaka karena tidak diperkenankan tinggal di Indragiri
oleh Sultan Malaka, pemerintahan di Kerajaan Keritang/Kesultanan Indragiri
dijalankan oleh hamba-hamba setia tersebut.
Sistem pemerintahan yang mulai terkonsep
sejak masa pemerintahan Sultan Alauddin Iskandar Syah Johan ditingkatkan dan
disempurnakan menjadi Undang-Undang Kesultanan pada rezim Sultan Hasanuddin
(1735-1765). Undang-Undang Kesultanan Indragiri itu meliputi Undang-Undang Adat
Kerajaan Indragiri, Peradilan Adat Kerajaan, Panji-Panji Raja, serta Menteri
Kerajaan (Lutfi [ed.], 1977:83). Undang-Undang Kesultanan Indragiri diuraikan
sebagai berikut:
- Struktur Pemerintahan Berdasarkan Lembaga
Undang-Undang Adat, yang terdiri dari Beraja nan Berdua,
meliputi: (1) Yang Dipertuan Besar Sultan; (2) Yang Dipertuan Muda, dan Berdatuk
nan Berdua yang meliputi: (1) Datuk Temenggung; (2) Datuk
Bendahara.
- Menteri nan Delapan, yaitu Menteri-menteri Kesultanan Indragiri atau sebagai Pembantu Datuk
Bendahara, berjumlah delapan orang, antara lain: Sri Paduka, Bentara,
Bentara Luar, Bentara Dalam, Majalela, Panglima Dalam, Sida-Sida, dan
Panglima Muda.
- Tiga Datuk di Rantau, meliputi Orang-Orang Kaya sebagai berikut: Orang Kaya Setia Kumara di
Lala, Orang Kaya Setia Perkasa di Kelayang, serta Orang Kaya Setia Perdana
di Kota Baru.
- Penghulu nan Tiga Lorong, terdiri atas (1) Yang Tua Raja Mahkota, di Batu Ginjal, Kampung Hilir;
(2) Lela di Raja, di Batu Ginjal, Kampung Hilir; dan (3) Dana Lela, di
Pematang.
- Kepala Pucuk Rantau, mencakup (1) Tun Tahir di Lubuk Ramo; (2) Datuk Bendahara di sebelah
kanan; serta (3) Datuk Temenggung di sebelah kiri (Tengku Arief, 1991).
Selain itu, terdapat juga Peradilan Adat
Kesultanan Indragiri yang mengurusi hukum pidana maupun perdata. Peradilan Adat
Kesultanan Indragiri meliputi dua mahkamah. Pertama adalah Mahkamah Besar,
dengan keanggotaan yang terdiri dari Yang Dipertuan Muda, Datuk Bendahara, dan
beberapa anggota lain yang dipilih oleh Sultan Indragiri. Setiap keputusan
Mahkamah Besar disampaikan oleh Datuk Bendahara kepada Sultan Indragiri.
Mahkamah kedua adalah Mahkamah Kecil
yang mencakup wilayah di desa-desa di bawah kendali seorang Penghulu. Pada
perkembangannya, Mahkamah Kecil ini kemudian dikepalai oleh Amir atau Camat
pada masa sekarang. Di samping itu ada pula Hukum Pidana Adat yang dikuasai
Raja dan Orang Banyak, serta Hukum Perdata mengenai Hukum Salo (damai),
pengaduan tentang kerugian, dan batas putusan Penghulu (Yusuf & Amin, et.al., 1994:87-88).
4. Wilayah Kekuasaan
Sultan Nara Singa II atau Maulana Paduka
Sri Sultan Alauddin Iskandar Syah Johan menunjuk sejumlah pejabat untuk
mewakili dirinya di beberapa daerah kekuasaan Kesultanan Indragiri. Salah
seorang pejabat terdekat Sultan yang bernama Datuk Patih, dianugerahi gelar
sebagai Raja di Padang yang membawahi daerah-daerah pedalaman dan sejumlah
tempat di pesisir sungai selain Sungai Indragiri. Sedangkan seorang pejabat
lainnya, yakni Datuk Temenggung Kuning, diangkat menjadi Raka di Rantau yang
menguasai tempat-tempat di sepanjang tepi sungai Indragiri dan sungai-sungai
besar lainnya, seperti desa-desa di sebelah hilir Batu Sawar dan di sepanjang
tepi Batang Kuantan.
Pada masa Sultan Hasanuddin (1735-1765),
terdapat pembagian wilayah kekuasaan Kesultanan Indragiri, meliputi: (1) Daerah
Cenaku, terdiri atas 3 daerah perbatinan, meliputi Pungkil, Pulau Serojan, dan
Sanglap; (2) Daerah Gangsal, terdiri dari Nan Tua Riye Belimbing,
Riye Tanjung, dan Pemuncak di Rantau Langsat; (3) Daerah Tiga Balai, terdiri
dari Dian Cacar, Parit, dan Perigi; (4) Daerah Batin nan Enam Suku, meliputi
Igal, Mandah, Pelanduk, Bantaian, Pulau Palas, serta Batang Tuaka; (4) Daerah
Kuantan, mencakup Cerenti Tanah Kerajaan, Ujung Tanah Minangkabau, sdan
Kerajaan Tua Gadis (Yusuf & Amin, et.al., 1994:86-87).
Tanggal 27 September 1938, disepakatilah Tractaat
van Vrindchaap (perjanjian perdamaian dan persahabatan) antara
Kesultanan Indragiri dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang
menghasilkan keputusan bahwa Kesultanan Indragiri menjadi Zelfbestuur (semacam
daerah otonomi) dan berdasarkan ketentuan tersebut akan ditempatkan seorang controlleur (pengawas
dari pemerintah kolonial) wilayah Indragiri Hilir yang membawahi 6 daerah yang
berupa wilayah keamiran, yaitu antara lain: Amir Tembilahan di Tembilahan, Amir
Batang Tuaka di Sungai Luar, Amir Tempuling di Sungai Salak, Amir Mandah dan
Gaung di Khairiah Mandah, Amir Enok di Enok, serta Amir Reteh di Kotabaru
Sejak 31 Maret 1942, tentara Jepang
berhasil masuk Indragiri melalui Singapura terus ke Rengat. Tanggal 2 April
1942 Jepang menerima penyerahan tanpa syarat dari pihak Belanda atas Indragiri.
Pada masa pendudukan Jepang ini, Indragiri Hilir dikepalai oleh seorang Cun
Cho yang berkedudukan di Tembilahan dengan membawahi 5 Ku Cho,
yaitu: Ku Cho Tembilahan dan Tempuling di Tembilahan,Ku
Cho Sungai Luar, Ku Cho Enok, Ku Cho Reteh,
dan Ku Cho Mandah. Sebelum tentara Jepang mendarat di
Indragiri, telah dikumandangkan lagu Indonesia Raya yang
dipelopori oleh Ibnu Abbas. Pemerintahan Jepang di Indragiri bertahan sampai
bulan Oktober 1945, yakni lebih kurang selama 3,5 tahun
Pada awal kemerdekaan Indonesia, wilayah
Indragiri (Hulu dan Hilir) masih menjadi satu kabupaten. Indragiri terdiri atas
3 kawedanan, yaitu Kawedanan Kuantan Singingi beribu kota Teluk Kuantan, Kawedanan
Indragiri Hulu beribu kota Rengat, dan Kawedanan Indragiri Hilir beribu kota
Tembilahan. Selanjutnya, berdasarkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1965 tanggal
14 Juni 1965, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 49, Daerah Persiapan
Kabupaten Indragiri Hilir resmi menjadi Kabupaten Daerah Tingkat II Indragiri
Hilir (sekarang Kabupaten Indragiri Hilir) sebagai salah satu kabupaten di
Provinsi Riau terhitung tanggal 20 November 1965.
0 komentar:
Post a Comment
DILARANG
-BERKATA KOTOR
-SPAM
-BACKLINK
Blog walker : WELCOME !